Welcome To My SIte....

Tempat aku mencurahkan asa dalam penggalan kata yang semoga saja bermakna...

About Me

Foto saya
Bojonegoro, Jawa Timur, Indonesia
Terlahir 28 Mei 1990, ketika sinar matahari ada pada bintang Gemini.. Gemini orang yang gesiiitt... Wush wush kaia akuw...hehehhe Gemini punya aura pemikat yang kuat banget... Terbukti sama aku...hmmmmm.. Kadang aku gk bisa kontrol emosi... Memberikan kesan saat melakukan tugasnya bahwa dia mempunyai kepribadian ganda..

Mari Belajar Bersama

Kita diciptakan dengan segenap asa...

Patut kiranya, kita olah apa yang telah kita terima...

Rangkailah apa yang ada dan terlintas dalam anganmu...

Tuliskan apa yang kamu ingin tulis...

Tentang seluruh perasaan yang ada dalam hati dan pikiranmu...

Karena akan menjadi sebuah kepuasan tersendiri...

Sabtu, 07 Januari 2012

Menjelang Malam


Langit senja tetap senantiasa manjakan raga berupa mata
Aroma khas sore menjelang malam
Siluet burung yang hendak pulang ke sarang
Suara jangkrikdan kodok yang bersautan
Adzan menggema pun telah diperdengarkan
Seorang perempuan dengan anaknya tampak berbusana putih berjalan menuju suara yang menyeru memanggil
Serta pula lelaki memakai peci hitam dan baju coklat lengan panjang dengan renda di sekeliling lengan baju
Lengkap dengan sarung bermotif kotak –kotak berwarna senada dan gelaran sajadah di pundak
Dia bergegas karena iqamah sudah terdengar
Mega mengelilingi matahari yang malu bersembunyi di pucuk pohon
Nuansa sore yang ada
Hitam, putih, kuning emas, orange dan abu – abu

Minggu, 01 Januari 2012

Kampung Samin

SEJARAH PERJUANGAN GERAKAN SAMIN SUROSENTIKO

Ki Samin Surosentiko
Bermula di sebuah kabupaten besar yaitu Sumoroto yang termasuk di daerah Tulungagung, Jawa Timur yang dipimpin seorang Bupati yang bernama Raden Mas Adipati Brotodiningrat yang berkuasa tahun 1802 – 1826.
RM Adipati Brotodiningrat juga mempunyai sebutan “ Pangeran Kusumaningayu “ yang artinya orang ningrat yang mendapat anugerah wahyu kerajaan untuk memimipin negara.
RM Adipati Brotodiningrat mempunyai 2 anak, yaitu :
1.       Raden Ronggowirjodiningrat
2.       Raden Surowidjojo
Raden Ronggowirjodiningrat meneruskan kekuasaan ayahnya, dia menjadi Bupati – Wedono pada tahun 1826 – 1844 di wilayah Tulungagung.
Raden Surowidjojo bukan seorang bendoro Raden Mas , tetapi cukup Raden Aryo yang memiliki kemuliaan dan kewibawaan yang besar. Raden Surowidjojo memiliki nama kecil yaitu “ Raden Surosentiko” atau “ Suratmoko” yang memakai julukan “ Samin” yang mempunyai arti “ Sami Sami Amin” atau dengan arti lain bila semua setuju dianggap sah karena mendapatkan dukungan rakyat banyak.
Dalam lingkungan kerajaan, Raden Surowidjojo di didik tentang ilmu yang berguna, keprihatinan, ilmu kanuragan, tapa brata dengan maksud agar hidupnya selalu mulia, tetapi dia lebih memilih pergi dari kabupaten hingga terjerumus dalam kenakalan, bromocorah, merampok, mabuk, madat dan lain lain. Namun hasil rampokan dari para orang kaya yang menjadi antek ( kaki tangan ) Belanda itu tidak serta merta digunakan sendiri, melainkan untuk dibagi-bagikan kepada orang yang miskin dan sebagian digunakan untuk mendirikan kelompok pemuda yang pada tahun 1840 dinamakan “ Tiyang Sami Samin “. Nama kelompok iti diambil dari julukan Raden Surowidjojo yaitu Samin.
Sejak tahun 1840 itulah nama Samin dikenal luas oleh masyarakat, dikenal sebagai kelompok brandalan dan perampok yang sebenarnya mempunyai niatan baik yaitu untuk menolong orang miskin. Tiyang Sami Amin memberi pelajaran yang didapatkan dari kerajaan kepada anak buahnya mengenai kanuragan, olah budi dan cara berperang melalui tulisan huruf jawa yang kemudian menjadi sekar macapat dalam tembang Pucung.
            “ Golong manggung, ora srambah ora suwung
            Kiate nang glanggang, lelatu sedah mijeni
            Ora tanggung, yen lena kumerut pega
            Naleng kadang, kadhi paran salang sandhung
            Tetege ming ingwang, jumeneng kalawan rajas
            Lamun ginggang sireku umajing probo “
Yang artinya adalah salah satu yang utuh, tidak dijarah dan tidak sepi, tetapi kuat dalam perang seperti kobaran api yang mengundang datangnya badan, tidak tahu apabila nantinya kejayaan akan hilang bersama asap. Hati tidak luntur seperti apa kira – kira datangnya kesulitan meski begitu terus kepada aku juga larinya. Oleh karena itu kamu dan aku tidak dapat berpisah, karena kamu dan aku akan menjadi satu dalam kebenaran.
Raden Surowidjojo melakukan penjarahan ke daerah yang lebih luas sampai tepi Bengawan Solo tepatnya yaitu di daerah Kanor, Rajekwesi.
Pada tahun 1859 lahirlah putra dari Raden Surowidjojo yang bernama Raden Kohar di Desa Ploso Kabupaten Blora
Pada saat itu Raden Surowidijojo hilang entah kemana sehingga ajaran sang ayah diteruskan olehnya dengan memakai sebutan “ Samin Surosentiko” atau “ Samin Anom ”. Samin Surosentiko melakukan pendekatan dengan masyarakat dengn melakukan perkumpulan dibalai desa atau lapangan. Dan pada tanggal 7 Februari 1889 melakukan pidato sebagai berikut :
“ Cur temah eling bilih siro kabeh horak sanes turun Pandowo lan huwis nyipati kabrakalan krandah Mojopahit saking bakrade wadyo musu. Mulo sakuwit biyen kolo niro Puntodewo titip tanah Jawa marang hing Sunan Kalijogo. Hiku maklumat tuwilo kajantoko. “
Pidato tersebut mengingatkan pada tiga perkara :
1.       Orang Samin itu keturunan Satria Pandawa, Prabu Puntodewo, satria tua yang bersedia menolong tanpa pamrih.
2.       Di jaman Mojopahit keturunan tersebut pernah dirusak orang Demak yang mabuk kemenangan.
3.       Keturunan Pandawa di Mojopahit sudah mengerti siapa yang benar dan siapa yang salah.
Tanggal 11 Juli 1901 di Lapangan Pangonan, Desa Kasiman, Ki Samin berbicara tentang kejatmikaan dengan sifat menang, madep, mantep, yang dihubungkan dengan kekuatan raga dan masalah pikiran, hati yang tenang, ririh, ruruh, tajam,seperti orang topo broto. Ki Samin juga mengajarkan pada anak buahnya harus pasrah, sumeleh, sabar, nerimo ing pandum seperti air telaga yang tak bersuara.
Andalan Ki Samin adalah kitab Jamus Kalimosodo yang ditulis oleh Raden Surowidjojo yang tak lain dan tak bukan adalah ayahnya. Kitab tersebut ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk prosa, puisi ganjaran, serat mocopat dan tembang tembang yang sampai saat ini masih disimpan oleh sesepuh Masyarakat Samin yang berada di daerah Tapelan ( Bojonegoro), Kropoduwur ( Blora ), Kutuk ( Kudus ), Gunung Segara ( Brebes ), Kandangan ( Pati ), dan Tlaga Anyar ( Lamongan ).
40 hari sebelum tanggal 8 November 1907 Ki Samin Surosentiko menjadi Raja Tanah Jawa, namun kemudian dia ditangkap pemerintah Belanda  yang ada di daerah Randublatung. Ki Samin Surosentiko diasingkan di Sawahlunto sampai akhirnya dia meninggal pada tahun 1914, namun dia menuliskan wasiat untuk warganya yang ada di Jawa yaitu “ Metrum Duduk Wuloh “. Isi dari wasiat tersebut adalah sebuah negara bisa kuat bila mempunyai peranan penting yang dapat menentukan peraturan dunia yang membuktikan kebijaksanaan dan menghormmati kepercayaan para leluhur.


AJI PAMELING 
Cerita Ki Samin Surosentiko yang menjadi Raja Tanah Jawa memang telah usai sepeninggal dirinya, tapi selama dalam hukuman dia mempunyai dua orang anak hasil perkawinannya dengan Mbok Kemis, yaitu Karto Kemis dan Saniyah. Sampai akhirnya Saniyah dinikahi oleh Suro Kidin.
Tahun 1939 Ki Suro Kidin ( menantu Ki Surosentiko ) bersemedi dan mendapat wangsit ( paweling / wisik ) yang kemudian disebut “ Aji Pameling” yang isinya supaya Ki Suro Kidin mengubur Sendang Lanang atau Sendang Malaikat.
Setelah dikubur yang ada hanya suara para lelembut yang berbunyi :
“ Jangan khawatir, aku akan membantumu mengusir Belanda, tapi ada syaratnya. Aku akan mencari Jago Trondol, dia juga akan menjajah, bahkan lebih keja. Oleh sebab itu lekaslah pulang dan beri tahu anak cucumu supoyo “ Cawis uyah karo nandur kapas” karena akan terjadi larang pangan lan susah sandang.
Ki Suro Kidin mempunyai 8 orang anak kandung dan seorang anak angkat bernama Kamidin atau Karto Kamidin yang kemudian diwarisi Aji Paweling. Surokarto Kamidin menikah di Desa Jepang dengan Paniyah dan memiliki 4 orang anak yang salah satunya adalah Mbah Hardjo .

MBAH HARDJO
Foto bersama Mbah Hardjo, petua di Kampung Samin
Mbah Hardjo adalah anak Surokarto Kamidin yang diberi amanat untuk memeruskan ajaran yang selama ini telah dianutnya yaitu agar tidak drengki, srei, dahwen, kemeren, semena – mena pada orang lain. Ada empat pedoman yang masih dipegang teguh oleh Mbah Hardjo, yaitu
1.       Pangganda: ganda ( bau ), ada ganda yang baik dan ada ganda yang buruk. Bila ganda baik mari kita lakukan  dan bila ganda buruk mari kita tinggalkan
2.       Pangrasa : rasa benar yang harus dilakukan dan rasa buruk yang harus ditinggalkan.
3.       Pangrungon : mendengar yang baik kita lakukan dan mendengar yang buruk mari kita tinggalkan.
4.       Pangawas : melihat yang  baik dilakukan, melihat yang buruk kita tinggalkan.
Dari pedoman itu, Mbah Hardjo ingin menciptakan sesuatu yang dapat berguna bagi masyarakat. Kemudian dia menggunakan keahliannya sebagai pande besi untuk sebagai sarana gotong royong dengan memperbaiki alat pertanian yang rusak seperti pacul, sabit dan lain lain.
Mbah Hardjo bertempat tinggal di Dusun Jepang Desa Margomulyo. Walaupun Mbah Hardjo buta huruf dan tidak berpendidikan, namun dia ingin menjadikan anak cucunya menyeyam pendidikan. Pada saat itu belum ada sekolahan sehingga kegiatan belajat dilakukan di rumah warga dan dengan bantuan tenaga guru sukarelawan.
Setelah Orde Baru dengan majunya pemerintahan, Mbah Harjdo bermusyawarah untuk mendirikan sekolah resmi yang kini dimilki oleh empat dusun yaitu : Jepang, Kaligede, Tepus , Batang. Dan semangat gotong royong dapt terwujud untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

ASAL DESA JEPANG
Konon adalah seorang laki laki yang bernama Ki Jepang. Dulu hanya sebuah hutan belantara yang kemudian dibabat ( babat alas ) kemudian di tempati oleh 9 rumah. Hingga saat ini sudah ada sekitar 200 kepala keluarga. Sarana dan prasarana juga sudah ada seperti sekolahan, masjid, balaidesa dan aliran listrik.
Anggapan kita mengenai orang Samin yang berbeda dengan kita pada umumnya ditepis oleh Mbah Hardjo. Tapi dalam pola pikir mereka masih belum bisa mengolah atau mengartikan kata kata. Misalnya ” Neng sawah nunggu emprit mangan pari “ seharusnya berarti “ nunggu neng sawah supoyo pari ne gak dipangan emprit “ tapi justru mereka “ nunggu emprit seng mangan pari neng sawah”.
Mereka masih menganut apa yang diajarkan oleh sesepuhnya. Salah satu contohnya sepeda yang diparkir di tepi jalan, tidak aka nada yang mencuri karena penduduk tidak punya rasa memilki apa yang bukan menjadi hak kita. Tidak ada pencuri disana.
Pesan Mbah Surokidin kepada cucunya adalah agar sabar, tidak mempunyai  rasa ingin memiliki apa yang bukan menjadi hak milik kita, tidak semena mena terhadap sesama manusia.
Dalam hal utang piutang pun mereka punya pandangan berbeda, tidak ada system berbunga. Misalnya hutang pada orang sebesar Rp. 100.000, - yang harus dikembalikan adalah Rp. 100.000,-, bukan Rp. 110.000,- atau Rp.120.000,-.Jika niatnya menolong harus ikhlas bukan “ Nulung Menthung “artinya menolong tapi memukul. Orang yang berhutang itu berarti benar benar membutuhkan uang itu, berbeda jika kita mengemis dan meminta.
Mbah Hardjo akhirnya menikah dengan Sidah di Desa Jepang dan mempunyai 7 orang anak dan 12 cucu.





Sepenggal Cerita ( Puisi )

Adalah ketika aku menikmati hamparan hijau sudut selatan kotaku.
Dengan jalan berliku dan menikuk tajam.
Jalan itu terjal dan kadang berbatu.
Naik dan turun seperti cerita pejalanan hidup manusia.
Cerita panjang yang akan menjadi sejarah.
 Tak sia perjuanganku ke sebuah desa.
Rumah pelataran cukup luas dengan bunga di beberapa sudut.
Rumah kayu jati design jaman dulu.
Lengkap dengan pilar pilar besar yang menyangganya.
Kokoh dan dingin sejuk yang pertama terasa ketika dipersilahkan masuk.
Senyum menyambut dan mengulur tangan.
Raut lelaki paruh baya yang belum tampak terlalu tua.
Memakai kaos santai dan sarung biru bercorak garis khas Indonesia.
Pandangan ini beredar ke sekeliling ruangan.
Tampak beberapa foto terbingkai rapi.
Bukti bahwa telah banyak pesohor negeri pernah berkunjung ke tempat ini.
Berjajar pula foto Bupati Bojonegoro dari masa ke masa.
Lukisan diri seorang lelaki dengan nama “ Surosentiko Samin “
Bersebelahan dengan itu, lukisan berbingkai yang telah berumur puluhan tahun “ Surokarto Kamidin “
Dan masih berjajar rapi yang tak lain dan tak bukan adalah Mbah Hardjo Kardi
Perbincangan itu berawal..
Tak terasa menuju siang.
Aku pun berpamit izin hendak ke mushola tepat di depan rumahnya.
Kotor, berdebu dan tak terawat.
Warga Samin beragama islam tapi belum sepenuhnya menjalankan ibadah sholat.
Hei..
Ada wanita yang tengah memanggul jambang berisi air.
Berjalan tanpa alas.
Ku dekati tempat air itu berasal.
Sebuah sumur yang dalam namun berair bening.
Kubasuh muka dan rasa dingin segar yang merasuk ke lapisan kulitku.
Mushola itu tepat berada di sisi kiri balai desa.
Ramai ibu ibu tengah berbincang tentang arisan.
Dari ujung jalan terlihat seorang kakek menggendong rumput.
Ku coba menyapanya..
“ Saking pundi mbah ?”
“ Niki neng, saking sabin, ngarit “
“Gadah lembu mbah?”
“Nggeh, kaleh. Monggo neng!!”
“ Nggeh monggo, atos atos “
Dan dia pun hilang dipersimpangan jalan.
Matahari telah condong ke barat..
Ku kembali ke rumah Mbah Hardjo seraya berpamitan.
Aku telah mendapat ilmu dari cerita.
Mendapat nasehat yang berguna.
Nuansa soreku tak habis sampai disitu.
Panorama alam pucuk pohon berbinar emas.
Inilah pojok kotaku yang indah.