SEJARAH
PERJUANGAN GERAKAN SAMIN SUROSENTIKO
Ki Samin Surosentiko |
RM
Adipati Brotodiningrat juga mempunyai sebutan “ Pangeran Kusumaningayu “ yang
artinya orang ningrat yang mendapat anugerah wahyu kerajaan untuk memimipin negara.
RM
Adipati Brotodiningrat mempunyai 2 anak, yaitu :
1. Raden Ronggowirjodiningrat
2. Raden Surowidjojo
Raden
Ronggowirjodiningrat meneruskan kekuasaan ayahnya, dia menjadi Bupati – Wedono
pada tahun 1826 – 1844 di wilayah Tulungagung.
Raden
Surowidjojo bukan seorang bendoro Raden Mas , tetapi cukup Raden Aryo yang
memiliki kemuliaan dan kewibawaan yang besar. Raden Surowidjojo memiliki nama
kecil yaitu “ Raden Surosentiko” atau “ Suratmoko” yang memakai julukan “
Samin” yang mempunyai arti “ Sami Sami Amin” atau dengan arti lain bila semua
setuju dianggap sah karena mendapatkan dukungan rakyat banyak.
Dalam
lingkungan kerajaan, Raden Surowidjojo di didik tentang ilmu yang berguna,
keprihatinan, ilmu kanuragan, tapa brata dengan maksud agar hidupnya selalu
mulia, tetapi dia lebih memilih pergi dari kabupaten hingga terjerumus dalam
kenakalan, bromocorah, merampok, mabuk, madat dan lain lain. Namun hasil
rampokan dari para orang kaya yang menjadi antek ( kaki tangan ) Belanda itu
tidak serta merta digunakan sendiri, melainkan untuk dibagi-bagikan kepada
orang yang miskin dan sebagian digunakan untuk mendirikan kelompok pemuda yang
pada tahun 1840 dinamakan “ Tiyang Sami Samin “. Nama kelompok iti diambil dari
julukan Raden Surowidjojo yaitu Samin.
Sejak
tahun 1840 itulah nama Samin dikenal luas oleh masyarakat, dikenal sebagai
kelompok brandalan dan perampok yang sebenarnya mempunyai niatan baik yaitu untuk
menolong orang miskin. Tiyang Sami Amin memberi pelajaran yang didapatkan dari
kerajaan kepada anak buahnya mengenai kanuragan, olah budi dan cara berperang
melalui tulisan huruf jawa yang kemudian menjadi sekar macapat dalam tembang
Pucung.
“ Golong manggung, ora srambah ora
suwung
Kiate nang glanggang, lelatu sedah
mijeni
Ora tanggung, yen lena kumerut pega
Naleng kadang, kadhi paran salang
sandhung
Tetege ming ingwang, jumeneng
kalawan rajas
Lamun ginggang sireku umajing probo
“
Yang
artinya adalah salah satu yang utuh, tidak dijarah dan tidak sepi, tetapi kuat
dalam perang seperti kobaran api yang mengundang datangnya badan, tidak tahu
apabila nantinya kejayaan akan hilang bersama asap. Hati tidak luntur seperti
apa kira – kira datangnya kesulitan meski begitu terus kepada aku juga larinya.
Oleh karena itu kamu dan aku tidak dapat berpisah, karena kamu dan aku akan
menjadi satu dalam kebenaran.
Raden
Surowidjojo melakukan penjarahan ke daerah yang lebih luas sampai tepi Bengawan
Solo tepatnya yaitu di daerah Kanor, Rajekwesi.
Pada
tahun 1859 lahirlah putra dari Raden Surowidjojo yang bernama Raden Kohar di
Desa Ploso Kabupaten Blora
Pada
saat itu Raden Surowidijojo hilang entah kemana sehingga ajaran sang ayah
diteruskan olehnya dengan memakai sebutan “ Samin Surosentiko” atau “ Samin
Anom ”. Samin Surosentiko melakukan pendekatan dengan masyarakat dengn
melakukan perkumpulan dibalai desa atau lapangan. Dan pada tanggal 7 Februari
1889 melakukan pidato sebagai berikut :
“ Cur temah
eling bilih siro kabeh horak sanes turun Pandowo lan huwis nyipati kabrakalan
krandah Mojopahit saking bakrade wadyo musu. Mulo sakuwit biyen kolo niro
Puntodewo titip tanah Jawa marang hing Sunan Kalijogo. Hiku maklumat tuwilo
kajantoko. “
Pidato
tersebut mengingatkan pada tiga perkara :
1. Orang Samin itu keturunan Satria
Pandawa, Prabu Puntodewo, satria tua yang bersedia menolong tanpa pamrih.
2. Di jaman Mojopahit keturunan tersebut
pernah dirusak orang Demak yang mabuk kemenangan.
3. Keturunan Pandawa di Mojopahit sudah
mengerti siapa yang benar dan siapa yang salah.
Tanggal
11 Juli 1901 di Lapangan Pangonan, Desa Kasiman, Ki Samin berbicara tentang
kejatmikaan dengan sifat menang, madep, mantep, yang dihubungkan dengan kekuatan
raga dan masalah pikiran, hati yang tenang, ririh, ruruh, tajam,seperti orang
topo broto. Ki Samin juga mengajarkan pada anak buahnya harus pasrah, sumeleh,
sabar, nerimo ing pandum seperti air telaga yang tak bersuara.
Andalan
Ki Samin adalah kitab Jamus Kalimosodo yang ditulis oleh Raden Surowidjojo yang
tak lain dan tak bukan adalah ayahnya. Kitab tersebut ditulis dengan bahasa
Jawa dalam bentuk prosa, puisi ganjaran, serat mocopat dan tembang tembang yang
sampai saat ini masih disimpan oleh sesepuh Masyarakat Samin yang berada di
daerah Tapelan ( Bojonegoro), Kropoduwur ( Blora ), Kutuk ( Kudus ), Gunung
Segara ( Brebes ), Kandangan ( Pati ), dan Tlaga Anyar ( Lamongan ).
40
hari sebelum tanggal 8 November 1907 Ki Samin Surosentiko menjadi Raja Tanah
Jawa, namun kemudian dia ditangkap pemerintah Belanda yang ada di daerah Randublatung. Ki Samin
Surosentiko diasingkan di Sawahlunto sampai akhirnya dia meninggal pada tahun
1914, namun dia menuliskan wasiat untuk warganya yang ada di Jawa yaitu “ Metrum
Duduk Wuloh “. Isi dari wasiat tersebut adalah sebuah negara bisa kuat bila
mempunyai peranan penting yang dapat menentukan peraturan dunia yang
membuktikan kebijaksanaan dan menghormmati kepercayaan para leluhur.
AJI PAMELING
Cerita
Ki Samin Surosentiko yang menjadi Raja Tanah Jawa memang telah usai sepeninggal
dirinya, tapi selama dalam hukuman dia mempunyai dua orang anak hasil
perkawinannya dengan Mbok Kemis, yaitu Karto Kemis dan Saniyah. Sampai akhirnya
Saniyah dinikahi oleh Suro Kidin.
Tahun
1939 Ki Suro Kidin ( menantu Ki Surosentiko ) bersemedi dan mendapat wangsit (
paweling / wisik ) yang kemudian disebut “ Aji Pameling” yang isinya supaya Ki
Suro Kidin mengubur Sendang Lanang atau Sendang Malaikat.
Setelah
dikubur yang ada hanya suara para lelembut yang berbunyi :
“ Jangan
khawatir, aku akan membantumu mengusir Belanda, tapi ada syaratnya. Aku akan
mencari Jago Trondol, dia juga akan menjajah, bahkan lebih keja. Oleh sebab itu
lekaslah pulang dan beri tahu anak cucumu supoyo “ Cawis uyah karo nandur
kapas” karena akan terjadi larang pangan lan susah sandang.
Ki
Suro Kidin mempunyai 8 orang anak kandung dan seorang anak angkat bernama
Kamidin atau Karto Kamidin yang kemudian diwarisi Aji Paweling. Surokarto
Kamidin menikah di Desa Jepang dengan Paniyah dan memiliki 4 orang anak yang
salah satunya adalah Mbah Hardjo .
MBAH HARDJO
Foto bersama Mbah Hardjo, petua di Kampung Samin |
1. Pangganda: ganda ( bau ), ada ganda yang
baik dan ada ganda yang buruk. Bila ganda baik mari kita lakukan dan bila ganda buruk mari kita tinggalkan
2. Pangrasa : rasa benar yang harus
dilakukan dan rasa buruk yang harus ditinggalkan.
3. Pangrungon : mendengar yang baik kita
lakukan dan mendengar yang buruk mari kita tinggalkan.
4. Pangawas : melihat yang baik dilakukan, melihat yang buruk kita
tinggalkan.
Dari
pedoman itu, Mbah Hardjo ingin menciptakan sesuatu yang dapat berguna bagi
masyarakat. Kemudian dia menggunakan keahliannya sebagai pande besi untuk
sebagai sarana gotong royong dengan memperbaiki alat pertanian yang rusak
seperti pacul, sabit dan lain lain.
Mbah
Hardjo bertempat tinggal di Dusun Jepang Desa Margomulyo. Walaupun Mbah Hardjo
buta huruf dan tidak berpendidikan, namun dia ingin menjadikan anak cucunya
menyeyam pendidikan. Pada saat itu belum ada sekolahan sehingga kegiatan
belajat dilakukan di rumah warga dan dengan bantuan tenaga guru sukarelawan.
Setelah
Orde Baru dengan majunya pemerintahan, Mbah Harjdo bermusyawarah untuk
mendirikan sekolah resmi yang kini dimilki oleh empat dusun yaitu : Jepang,
Kaligede, Tepus , Batang. Dan semangat gotong royong dapt terwujud untuk menuju
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
ASAL DESA
JEPANG
Konon
adalah seorang laki laki yang bernama Ki Jepang. Dulu hanya sebuah hutan
belantara yang kemudian dibabat ( babat alas ) kemudian di tempati oleh 9 rumah.
Hingga saat ini sudah ada sekitar 200 kepala keluarga. Sarana dan prasarana
juga sudah ada seperti sekolahan, masjid, balaidesa dan aliran listrik.
Anggapan
kita mengenai orang Samin yang berbeda dengan kita pada umumnya ditepis oleh
Mbah Hardjo. Tapi dalam pola pikir mereka masih belum bisa mengolah atau
mengartikan kata kata. Misalnya ” Neng sawah nunggu emprit mangan pari “
seharusnya berarti “ nunggu neng sawah supoyo pari ne gak dipangan emprit “
tapi justru mereka “ nunggu emprit seng mangan pari neng sawah”.
Mereka
masih menganut apa yang diajarkan oleh sesepuhnya. Salah satu contohnya sepeda
yang diparkir di tepi jalan, tidak aka nada yang mencuri karena penduduk tidak
punya rasa memilki apa yang bukan menjadi hak kita. Tidak ada pencuri disana.
Pesan
Mbah Surokidin kepada cucunya adalah agar sabar, tidak mempunyai rasa ingin memiliki apa yang bukan menjadi
hak milik kita, tidak semena mena terhadap sesama manusia.
Dalam
hal utang piutang pun mereka punya pandangan berbeda, tidak ada system
berbunga. Misalnya hutang pada orang sebesar Rp. 100.000, - yang harus
dikembalikan adalah Rp. 100.000,-, bukan Rp. 110.000,- atau Rp.120.000,-.Jika
niatnya menolong harus ikhlas bukan “ Nulung Menthung “artinya menolong tapi
memukul. Orang yang berhutang itu berarti benar benar membutuhkan uang itu,
berbeda jika kita mengemis dan meminta.
Mbah Hardjo
akhirnya menikah dengan Sidah di Desa Jepang dan mempunyai 7 orang anak dan 12
cucu.
Sepenggal
Cerita ( Puisi )
Adalah ketika
aku menikmati hamparan hijau sudut selatan kotaku.
Dengan jalan
berliku dan menikuk tajam.
Jalan itu
terjal dan kadang berbatu.
Naik dan turun
seperti cerita pejalanan hidup manusia.
Cerita panjang
yang akan menjadi sejarah.
Tak sia perjuanganku ke sebuah desa.
Rumah pelataran
cukup luas dengan bunga di beberapa sudut.
Rumah kayu jati
design jaman dulu.
Lengkap dengan
pilar pilar besar yang menyangganya.
Kokoh dan
dingin sejuk yang pertama terasa ketika dipersilahkan masuk.
Senyum
menyambut dan mengulur tangan.
Raut lelaki
paruh baya yang belum tampak terlalu tua.
Memakai kaos
santai dan sarung biru bercorak garis khas Indonesia.
Pandangan ini
beredar ke sekeliling ruangan.
Tampak beberapa
foto terbingkai rapi.
Bukti bahwa
telah banyak pesohor negeri pernah berkunjung ke tempat ini.
Berjajar pula
foto Bupati Bojonegoro dari masa ke masa.
Lukisan diri
seorang lelaki dengan nama “ Surosentiko Samin “
Bersebelahan
dengan itu, lukisan berbingkai yang telah berumur puluhan tahun “ Surokarto
Kamidin “
Dan masih berjajar
rapi yang tak lain dan tak bukan adalah Mbah Hardjo Kardi
Perbincangan
itu berawal..
Tak terasa
menuju siang.
Aku pun
berpamit izin hendak ke mushola tepat di depan rumahnya.
Kotor, berdebu
dan tak terawat.
Warga Samin
beragama islam tapi belum sepenuhnya menjalankan ibadah sholat.
Hei..
Ada wanita yang
tengah memanggul jambang berisi air.
Berjalan tanpa
alas.
Ku dekati
tempat air itu berasal.
Sebuah sumur
yang dalam namun berair bening.
Kubasuh muka
dan rasa dingin segar yang merasuk ke lapisan kulitku.
Mushola itu
tepat berada di sisi kiri balai desa.
Ramai ibu ibu
tengah berbincang tentang arisan.
Dari ujung
jalan terlihat seorang kakek menggendong rumput.
Ku coba
menyapanya..
“ Saking pundi
mbah ?”
“ Niki neng,
saking sabin, ngarit “
“Gadah lembu mbah?”
“Nggeh, kaleh.
Monggo neng!!”
“ Nggeh monggo,
atos atos “
Dan dia pun
hilang dipersimpangan jalan.
Matahari telah
condong ke barat..
Ku kembali ke
rumah Mbah Hardjo seraya berpamitan.
Aku telah
mendapat ilmu dari cerita.
Mendapat
nasehat yang berguna.
Nuansa soreku
tak habis sampai disitu.
Panorama alam
pucuk pohon berbinar emas.
Inilah pojok
kotaku yang indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar